Sabtu, 21 April 2012
TUGAS EKONOMI SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN
PENDEKATAN METODE VALUASI EKONOMI
Disusun oleh:
Nama : Nur Chasanah
NIM : 11875
JURUSAN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2012
METODE VALUASI EKONOMI
SUMBERDAYA LAHAN PERTANIAN
Konsep Valuasi Ekonomi.
Sumberdaya alam merupakan bagian dari ekosistem, yaitu lingkungan tempat berlangsungnya reaksi timbal balik antara makhluk hidup dengan faktor-faktor alam. Oleh karena itu, pemanfaatan sumberdaya alam pada hakekatnya melakukan perubahan-perubahan di dalam ekosistem, sehingga perencanaan penggunaan sumberdaya alam dalam rangka proses pembangunan tidak dapat ditinjau secara terpisah, melainkan senantiasa dilakukan dalam hubungannya dengan ekosistem yang mendukungnya.
Sumberdaya alam selain menghasilkan barang dan jasa yang dapat dikonsumsi, juga menghasilkan jasa-jasa lingkungan yang memberikan manfaat lain, misalnya manfaat keindahan, rekreasi. Mengingat pentingnya manfaat dari sumberdaya alam tersebut, maka manfaat tersebut perlu dinilai. Misalnya nilai lahan sawah sebagai sumber air tanah yang dibutuhkan oleh petani dan masyarakat di sekitarnya. Oleh karena itu menurut Fauzi (2004) output yang dihasilkan dari pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan berupa barang dan jasa, perlu diberi nilai/harga (price tag).
Konsep dasar valuasi merujuk pada kontribusi suatu komoditas untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam konteks ekologi, sebuah gen bernilai tinggi apabila mampu berkontribusi terhadap tingkat survival dari individu yang memiliki gen tersebut. Dalam pandangan ecological economics, nilai (value) tidak hanya untuk maksimalisasi kesejahteraan individu tetapi juga terkait dengan keberlanjutan ekologi dan keadilan distribusi (Constanza dan Folke, 1997; Bishop, 1997; Constanza. 2001).
Valuasi ekonomi merupakan upaya untuk memberikan nilai kuantitatif terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan, baik atas dasar nilai pasar (market value) maupun nilai non-pasar (non market value). Valuasi ekonomi sumberdaya merupakan suatu alat ekonomi (economic tool) yang menggunakan teknik penilaian tertentu untuk mengestimasi nilai uang dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. Pemahaman tentang konsep valuasi ekonomi memungkinkan para pengambil kebijakan dapat menentukan penggunaan sumberdaya alam dan lingkungan yang efektif dan efisien. Hal ini disebabkan aplikasi valuasi ekonomi menunjukkan hubungan antara konservasi SDA dengan pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, valuasi ekonomi dapat dijadikan alat yang penting dalam meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap penggunaan dan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan.
Menurut Pearce dan Turner (1991) menilai jasa-jasa lingkungan pada dasarnya dinilai berdasarkan ”willingness to pay” (WTP) dan ”willingnes to accept (WTA). Willingness to pay dapat diartikan sebagai berapa besar orang mau membayar untuk memperbaiki lingkungan yang rusak (kesediaan konsumen untuk membayar), sedangkan willingness to accept adalah berapa besar orang mau dibayar untuk mencegah kerusakan lingkungan (kesediaan produsen menerima kompensasi) dengan adanya kemunduran kualitas lingkungan. Selanjutnya menurut Pearce dan Turner (1991), terdapat empat pendekatan dalam penggunaan WTP dan WTA yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk memperoleh informasi dari masyarakat , yaitu:
1. WTP to secure a benefit, menunjukkan berapa nilai yang bersedia dibayar oleh konsumen untuk memperbaiki kualitas lingkungan.
2. WTA to forego a benefit, menunjukkan berapa besar nilai kerugian yang bisa diterima jika diadakan perbaikan lingkungan.
3. WTP to prevent a loss, menunjukkan upaya pencegahan, penduduk diberi gambaran tentang kerugian yang dapat terjadi akibat lingkungan yang kotor.
4. WTA to tolerate a loss menunjukkan nilai kerugian yang dapat dicegah.
Menurut Suparmoko dan Maria (2000), nilai sumberdaya alam dibedakan atas nilai atas dasar penggunaan (instrumental value) dan nilai tanpa penggunaan secara intrinsik melekat dalam aset sumberdaya alam (intrinsic value). Selanjutnya berdasarkan atas penggunaannya, nilai ekonomi suatu sumberdaya dapat dikelompokkan ke dalam nilai atas dasar penggunaan (use values) dan nilai yang terkandung di dalamnya atau nilai intrinsik (non use values). Nilai penggunaan ada yang bersifat langsung (direct use values) dan nilai penggunaan tidak langsung (indirect use values) serta nilai pilihan (option values). Sementara itu nilai penggunaan tidak langsung (non use values) dapat dibedakan atas nilai keberadaan (existence values) dan nilai warisan (bequest values). Nilai ekonomi total atau total economic value (TEV) diperoleh dari penjumlahan nilai atas dasar penggunaan dan nilai atas dasar penggunaan tidak langsung (Pearce dan Turner, 1991; Munasinghe, 1993; Pearce dan Moran, 1994).
Total Economic Value (TEV) dapat ditulis dengan persamaan matematis sebagai berikut:
TEV = UV + NUV
UV = DUV + IUV + OV
NUV = EV + BV
TEV = UV + NUV = (DUV + IUV + OV) + (EV + BV)
Dimana:
TEV = Total Economic Value (Nilai Ekonomi Total)
UV = Use Values (Nilai Penggunaan)
NUV = Non Use Value (Nilai Intrinsik)
DUV = Direct Use Value (Nilai Penggunaan Langsung)
IUV = Inderect Use Value (Nilai Penggunaan Tidak Langsung)
OV = Option Value (Nilai Pilihan)
EV = Existence Value (Nilai Keberadaan)
BV = Bequest Value (Nilai Warisan/Kebanggaan)
Selanjutnya uraian dari masing-masing konsep nilai ekonomi adalah sebagai berikut:
1. Nilai penggunaan (use value) diperoleh dari pemanfaatan aktual dari sumberdaya alam dan lingkungan. Nilai penggunaan berhubungan dengan nilai karena seseorang memanfaatkan atau berharap akan memanfaatkan di masa mendatang.
2. Nilai penggunaan langsung (direct use values) dihitung berdasarkan kontribusi sumberdaya alam dan lingkungan dalam membantu proses produksi dan konsumsi saat. Nilai penggunaan langsung tersebut mencakup seluruh manfaat sumberdaya alam dan lingkungan yang dapat diperkirakan langsung dari konsumsi dan produksi melalui satuan harga berdasarkan mekanisme pasar.
3. Nilai penggunaan tidak langsung (indirect use values) ditentukan oleh manfaat yang berasal dari jasa-jasa lingkungan dalam mendukung aliran produksi dan konsumsi. Nilai guna tidak langsung diperoleh dari fungsi pelayanan lingkungan hidup dalam menyediakan dukungan terhadap proses produksi dan konsumsi saat ini, misalnya nilai berbagai fungsi ekologi terhadap daur ulang unsur hara dalam tanah.
4. Nilai pilihan (option value) berkaitan dengan pilihan pemanfaatan lingkungan di masa mendatang. Ketidakpastian penggunaan di masa datang berhubungan erat dengan ketidakpastian penawaran lingkungan sehingga option value lebih diartikan sebagai nilai pemeliharaan sumberdaya sehingga pilihan untuk memanfaatkannya masih tersedia untuk masa yang akan datang. Nilai pilihan merupakan kesediaan konsumen untuk mau membayar asset yang tidak digunakan dengan alasan untuk menghindari resiko karena tidak dapat lagi memanfaatkannya di masa mendatang.
5. Nilai intrinsik atau nilai non-penggunaan (non use values) nilai yang diberikan pada sumberdaya alam dan lingkungan atas dasar keberadaannya, meskipun tidak dikonsumsi secara langsung. Nilai yang diberikan tersebut sebenarnya sulit diukur dan dianalisis, karena lebih didasarkan pada preferensi terhadap lingkungan (berkaitan dengan motif atau sifat dermawan) daripada pemanfaatan langsung.
6. Nilai keberadaan (existence values) mempunyai nilai karena adanya kepuasan seseorang atau komunitas atas keberadaan suatu asset, walaupun yang bersangkutan tidak ada keinginan untuk memanfaatkannya. Nilai keberadaan diberikan seseorang atau masyarakat kepada sumberdaya alam dan lingkungan semata-mata sebagai bentuk kepedulian karena telah memberikan manfaat estetika, spiritual dan budaya.
7. Nilai warisan (bequest values) berhubungan dengan kesediaan membayar yang diberikan oleh masyarakat saat ini untuk melindungi manfaat lingkungan untuk generasi mendatang. Nilai keberadaan muncul karena adanya kepuasan atas keberadaan sumberdaya, meskipun secara individu tidak berkeinginan memanfaatkannya.
Manfaat Valuasi Ekonomi
Peran valuasi ekonomi terhadap pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan sangat penting dalam kebijakan pembangunan. Menurunnya kualitas sumberdaya alam dan lingkungan merupakan masalah ekonomi, sebab kemampuan sumberdaya alam tersebut menyediakan barang dan jasa juga semakin berkurang, utamanya pada beberapa kasus sumberdaya alam yang tidak dapat dikembalikan seperti semula (irreversible).
Valuasi ekonomi diperlukan dalam memutuskan pilihan kebijakan pembangunan yang berhubungan dengan sumberdaya alam dan lingkungan. Oleh karena itu, kuantifikasi manfaat (benefit) dan kerugian (cost) harus dilakukan agar proses pengambilan keputusan dapat berjalan dengan memperhatikan aspek keadilan (fairness). Tujuan valusi ekonomi pada dasarnya adalah membantu pengambil keputusan untuk menduga efisiensi ekonomi (economic efficiency) dari berbagai pemanfaatan yang mungkin dilakukan.
Pendekatan Valuasi Ekonomi
Valuasi ekonomi menggunakan satuan moneter sebagai patokan perhitungan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Satuan moneter sebagai patokan pengukuran untuk semua hal merupakan ukuran kepuasan untuk suatu tindakan pengambilan keputusan. Tidak adanya pasar untuk produk lingkungan tertentu tidak berarti manfaat ekonomi suatu barang atau jasa tidak ada, oleh karena itu preferensi yang berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat harus menggunakan satuan moneter. Tidak adanya pasar untuk produk tersebut membuat proses valuasi ekonomi menjadi sulit sehingga harus menggunakan berbagai teknik valuasi. Teknik dan cara yang beragam memerlukan pendekatan yang jelas agar tidak terjadi perhitungan ganda (double counting).
Menurut Suparmoko (2000) bahwa terdapat tiga alasan penggunaan satuan moneter dalam valuasi ekonomi, yaitu (1) satuan moneter dari manfaat dan biaya SDA dan lingkungan dapat menjadi parameter kualitas lingkungan, (2) satuan moneter dapat digunakan untuk menilai tingkat kepedulian seseorang terhadap lingkungan dan (3) satuan moneter dapat dijadikan sebagai bahan pembanding secara kuantitatif terhadap beberapa alternatif pilihan penggunaan sumberdaya alam.
Alasan pertama berkaitan dengan masalah kelangkaan sumberdaya alam. Masalah kelangkaan suatu sumberdaya alam atau jenis species tertentu akibat pembangunan akan memperoleh nilai moneter yang rendah. Alasan kedua dapat diartikan sebagai moneterisasi keinginan atau kesediaan seseorang untuk membayar bagi kepentingan perbaikan lingkungan. Perhitungan ini secara langsung menggambarkan fakta tentang preferensi lingkungan dari seseorang atau masyarakat. Demikian pula pada seseorang atau masyarakat yang merasa kehilangan manfaat lingkungan, yaitu keinginan untuk menerima kompensasi kerugian yang dialami. Selanjutnya alasan ketiga berkaitan dengan aspek decision making dalam pemanfaatan SDA dan lingkungan, dimana satuan moneter dapat digunakan sebagai salah satu indikator pengambilan keputusan.
Metode valuasi ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan secara umum dikelompokkan atas dua pendekatan, yaitu pendekatan fungsi permintaan (demand approach) dan pendekatan tidak menggunakan fungsi permintaan (non-demand approach). Pendekatan fungsi permintaan menggunakan empat metode, yaitu metode dampak produksi, metode respon dosis, metode pengeluaran preventif dan metode biaya pengganti. Sedangkan pendekatan selain fungsi permintaan juga menggunakan empat metode, yaitu metode valuasi kontingensi, metode biaya perjalanan, metode biaya properti dan metode biaya pengobatan (Turner, et al. 1994; Navrud, 2000).
1. Pendekatan fungsi permintaan, menggunakan metode sebagai berikut:
a. Metode dampak produksi. Metode ini menghitung manfaat konservasi lingkungan dari sisi kerugian yang ditimbulkan akibat adanya suatu kebijakan proteksi. Metode ini menjadi dasar dalam pembayaran kompensasi bagi properti masyarakat yang dibeli oleh pemerintah untuk tujuan tertentu, misalnya untuk membangun sarana umum, petani yang merelakan tanahnya untuk tujuan konservasi.
b. Metode respon dosis. Metode ini menilai pengaruh perubahan kandungan zat kimia atau bahan polusi (polutan) tertentu terhadap kegiatan ekonomi atau kepuasan konsumen, misalnya tingkat pencemaran air akan mempengaruhi pertumbuhan makhluk air, menurunkan manfaat kegunaan air, membahayakan kesehatan manusia dan sebagainya. Penurunan tingkat produksi dapat dihitung menggunakan harga pasar yang berlaku maupun harga bayangan (shadow price).
c. Metode pengeluaran preventif. Pada metode nilai eksternalitas lingkungan dari suatu kegiatan dihitung dengan melihat berapa biaya yang disiapkan oleh seseorang atau masyarakat untuk menghindari dampak negatif dari penurunan kualitas lingkungan. Misalnya biaya pembuatan terasering untuk mencegah erosi di daerah berlereng atau dataran tinggi.
d. Metode biaya pengganti. Valuasi ekonomi dengan metode ini berdasarkan biaya ganti rugi asset produktif yang rusak, karena penurunan kualitas lingkungan atau kesalahan pengelolaan. Misalnya pengurangan luas hutan bakau ternyata berdampak terhadap pengurangan unsur hara dan penurunan populasi udang tangkap, maka penilaian terhadap kerugian tersebut merupakan jumlah biaya pengganti yang harus dikeluarkan jika kebijakan pengelolaan hutan bakau dilaksanakan.
2. Pendekatan selain fungsi permintaan menggunakan metode sebagai berikut:
a. Metode valuasi kontingensi. Metode ini menentukan preferensi konsumen terhadap pemanfaatan SDA dan lingkungan dengan mengemukakan kesanggupan untuk membayar (WTP:willingnes to pay) yang dinyatakan dalam nilai uang. Teknik metode ini dengan melakukan survei dan wawancara dengan responden tentang nilai dan manfaat SDA dan lingkungan yang mereka rasakan. Pendekatan WTA (willingnes to accept) digunakan untuk mengetahui seberapa besar petani mau dibayar agar tetap bersedia mengelola dan mempertahankan lahan sawahnya. Metode valuasi kontingensi dengan metode survei WTP dan WTA telah banyak digunakan oleh peneliti (Navrud dan Mungatana, 1994; Rolfe et al, 2000; Othman, 2002)
b. Metode biaya perjalanan. Metode ini mengestimasi kurva permintaan barang-barang rekreasi di luar rumah. Asumsi yang digunakan adalah semakin jauh tempat tinggal seseorang yang datang memanfaatkan fasilitas rekreasi akan semakin menurun permintaan terhadap produk rekreasi tersebut karena biaya perjalanan yang mahal. Metode biaya perjalanan dapat diterapkan untuk menyusun kurva permintaan masyarakat terhadap rekreasi untuk suatu produk/jasa SDA dan lingkungan. Menurut FAO (2001) metode biaya perjalanan dan valuasi kontingensi dapat digunakan untuk menilai barang SDA dan lingkungan, termasuk eksternalitas lahan pertanian.
c. Metode nilai properti. Metode ini berdasarkan perbedaan harga sewa lahan atau harga sewa rumah, dengan asumsi bahwa perbdaan ini disebabkan oleh perbedaan kualitas lingkungan. Selisih harga merupakan harga kualitas lingkungan tersebut. Othman et al. (2006) menyebut metode ini dengan pendekatan hedonik, yaitu menduga kualitas lingkungan berdasarkan kesanggupan seseorang untuk membayar (WTP) lahan atau komoditas lingkungan tersebut.
d. Metode biaya pengobatan. Metode ini digunakan untuk memperkirakan biaya kesehatan akibat adanya perubahan kualitas lingkungan yang menyebabkan seseorang sakit. Total biaya dihitung secara langsung dan tidak langsung. Biaya langsung digunakan untuk pengeluaran biaya perawatan, obat-obatan dan sebagainya. Sedangkan biaya tidak langsung mengukur nilai kehilangan produktivitas akibat seseorang menderita sakit.
Secara umum terdapat dua pendekatan teknik valuasi ekonomi, yaitu pendekatan langsung (direct) dan pendekatan tidak langsung (indirect). Pendekatan langsung yaitu menurunkan preferensi secara langsung dengan cara survei dan teknik-teknik percobaan (experimental tecniques). Masyarakat ditanya secara langsung tentang kekuatan preferensi mereka.
Tabel 2. Beberapa Metode Valuasi Ekonomi Sumberdaya Lahan Pertanian.
Perilaku Masyarakat Pendekatan Pasar
Pasar Konvensional Pasar Pengganti
Berdasarkan
Perilaku Aktual • Perubahan produktivitas
• Kehilangan pendapatan
• Pengeluaran preventif • Travel cost method
• Perbedaan upah (risk estimation)
• Nilai lahan & properti
• Metode perilaku pengeluaran
Berdasarkan
Perilaku Potensial • Biaya pengganti
• Proyek bayangan • Contingent Valuation
Sebaliknya pendekatan tidak langsung, yaitu teknik-teknik yang menurunkan preferensi dari fakta atau informasi berdasarkan pasar yang diamati. Metode penilaian terhadap penggunaan sumberdaya lahan telah dipraktekkan pada berbagai negara. Metode tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga macam pendekatan (Maynard, 1993; Munasinghe, 1993; Suparmoko dan Maria, 2007) pada Tabel 2.
1. Pendekatan nilai pasar, menggunakan tiga macam metoda, yaitu:
a. Metode perubahan produktivitas berangkat dari pemikiran bahwa pemanfaatan sumberdaya mempengaruhi produksi dan produktivitas. Perubahan produksi yang dihasilkan tentu akan mengubah perilaku pemanfaatannya, sehingga akan mengubah nilai dari sumberdaya tersebut. Menurut Grigalunas dan Congan (1995), pendekatan produktivitas sangat berguna apabila produk finalnya memiliki harga pasar dan informasi tentang aliran barang dan jasa cukup tersedia.
b. Metode kehilangan pendapatan. Pendapatan yang hilang dapat diartikan sebagai biaya tidak langsung akibat berkurangnya mutu lingkungan, seperti memburuknya kesehatan, pemandangan yang hilang, berkurangnya kesuburan tanaman. Untuk menilai hal tersebut digunakan pendekatan kesediaan membayar (willingnes to pay) untuk mencapai kondisi yang lebih baik. metode yang secara langsung didasarkan pada pendekatan nilai pasar.
c. Metode pengeluaran preventif adalah biaya yang diperlukan untuk mencegah terjadinya dampak lingkungan yang merugikan. Kerusakan lingkungan dinilai berdasarkan atas prinsip biaya dan manfaat, sehingga dapat dikatakan bahwa nilai ekonomi suatu lingkungan adalah sekurang-kurangnya sama dengan biaya yang diperlukan untuk mencegah kerusakan lingkungan.
2. Pendekatan nilai pasar barang pengganti, terdiri atas empat metode, yaitu:
a. Metode harga properti, estimasi nilai ekonomi udara bersih dengan menghubungkan antara harga rumah dengan kualitas udara.
b. Metode perbedaan upah (risk estimation); upah/gaji merupakan faktor determinan dari resiko kecelakaan.
c. Travel Cost Metod; survei secara detail terhadap perjalanan kemudian dihitung jumlah biaya perjalanannya.
d. Metode perilaku pengeluaran; survei pengeluaran rumahtangga terhadap masalah lingkungan.
3. Pendekatan Contingent Valuation (CV), metode valuasi berdasarkan preferensi adalah untuk mengukur seberapa besar nilai suatu barang berdasarkan estimasi seseorang. CV juga merupakan suatu pendekatan untuk mengetahui seberapa nilai yang diberikan seseorang untuk memperoleh suatu barang (willingnes to pay) dan seberapa besar nilai yang diinginkan untuk melepas suatu barang (willingnes to accept). Pendekatan CV dilakukan untuk mengukur preferensi masyarakat dengan melakukan wawancara (Barton, 1994).
Berdasarkan konsep manfaat dan dampaknya, secara umum terdapat empat pendekatan dalam menilai kerusakan sumberdaya alam & lingkungan, (Fauzi dan Anna, 2005; KNLH, 2009), yaitu:
1. Pendekatan kesejahteraan, umumnya digunakan jika kerusakan lingkungan sudah menimbulkan perubahan kesejahteraan masyarakat yang diukur melalui income (perubahan surplus konsumen dan surplus produsen.
2. Pendekatan berdasarkan prinsip biaya penuh (full cost principle), konsep ini mengacu pada prinsip bahwa penggunaan sumberdaya alam dan lingkungan harus membayar seluruh biaya yang diakibatkan oleh perubahan pada sistem SDA dan lingkungan. Ganti rugi berdasarkan FCP harus menghitung nilai barang dan jasa menggunakan teknik (Fauzi dan Anna, 2005; KNLH, 2006) berikut:
a. Teknik amplop (back of the envelope), yaitu konsep yang memperkirakan secara kasar namun mewakili untuk mengestimasi nilai asset yang rusak untuk ganti rugi.
b. Teknik pendekatan nilai dasar (baseline approach), dilakukan untuk mengestimasi nilai kerugian dengan menggunakan nilai dasar yang sudah baku untuk suatu kerusakan lingkungan.
3. Pendekatan berdasarkan biaya pemulihan (costing method), konsep ini menghitung biaya berdasarkan perhitungan biaya yang dikeluarkan untuk melakukan restorasi terhadap lingkungan yang mengalami kerusakan (injury). Pengukuran kerusakan lingkungan dan penentuan ganti kerugian yang didasarkan biaya pemulihan pada dasarnya adalah menghitung biaya yang dikeluarkan untuk melakukan restorasi terhadap lingkungan yang mengalami pencemaran atau perusakan. Komponan biaya yang dihitung termasuk direct cost, seperti biaya akuisisi lahan, biaya transaksi, monitoring serta indirect cost, seperti biaya overhead.
4. Pendekatan produktivitas, pendekatan ini mengacu pada penentuan ganti rugi berdasarkan perubahan produktivitas sebelum dan setelah terjadi kerusakan lingkungan.
Kerangka dan Prosedur Valuasi Ekonomi
Pendekatan perhitungan dilakukan mengikuti tahapan valuasi ekonomi fungsi sumberdaya alam dan lingkungan sebagai berikut:
A.
B.
C.
D.
E.
F.
1. Penentuan Tujuan
Penentuan tujuan berkaitan dengan hasil akhir yang ingin dicapai. Tujuan ini akan menentukan daerah yang akan dijadikan obyek perhitungan valuasi. Kemudian ditetapkan batas-batas kajian, baik batasan ekosistem, maupun batasan metode valuasi. Perhitungan valuasi ekonomi dilakukan sesuai dengan tujuan valuasi ekonomi, misalnya apakah untuk mengetahui Nilai Ekonomi Total (NET) atau secara parsial untuk biaya ganti .
2. Penentuan Daerah/Wilayah yang akan Di Valuasi
Penentuan daerah/wilayah ini penting dilakukan untuk mengetahui potensial daerah yang dapat divaluasi. Selain itu, tahapan ini diperlukan untuk mengetahui tokoh setempat yang dapat memberikan gambaran tentang fungsi daerah yang akan divaluasi karena terkait dengan sumber daya ekonomi masyarakat setempat..
3. Identifikasi Fungsi, Manfaat, dan Permasalahan
a. Identifikasi Fungsi dan Manfaat
b. Identifikasi dan Klasifikasi Permasalahan
Tahapan ini bertujuan untuk mengetahui cara menghitung kerusakan/perubahan kualitas dari sumberdaya lahan yang divaluasi secara parsial.
4. Penentuan Metode Valuasi
Pemilihan metode valuasi akan dipengaruhi oleh ketersediaan harga pasar. Metode yang paling mudah adalah metode yang tersedia harga pasarnya, namun apabila tidak ada harga pasarnya maka berbagai metode pendekatan dapat digunakan untuk menghitung nilai sumberdaya alam tersebut.
5. Data Kuantifikasi Fungsi
Untuk keperluan valuasi diperlukan data kuantifikasi fungsi, sehingga dapat diketahui kuantifikasi seluruh NET atau volume penambahan atau pengurangan sumberdaya alam dan lingkungan ataupun kuantifikasi kerusakan pada suatu kurun waktu tertentu.
6. Penghitungan Nilai Ekonomi (Valuasi Ekonomi)
Pada tahap ini dilakukan valuasi masing-masing fungsi dan manfaat sumberdaya alam dan lingkungan yang bersangkutan. Hasil dari tahap ini merupakan perhitungan keseluruhan nilai fungsi (NET) atau nilai kerusakan pada lahan sawah sesuai dengan tujuan perhitungan.
7. Analisis
Pada tahap ini dilakukan kajian terhadap nilai yang didapat dari valuasi ekonomi yang selanjutnya dapat digunakan untuk pengambilan keputusan. Nilai yang didapatkan dijabarkan pula implikasi/makna dari suatu nilai yang diperoleh
DAFTAR PUSTAKA
Constanza dan Folke, 1997. Ecological Economic, The Science and Management of Sustainability,. Columbia University Press, New York.
Fauzi A.. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Teori dan Aplikasi. P.T. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Fisher A. 1981. Natural Resource and Envoronmental Economics, Cambridge University Press.
Freeman III, A.M, 2003. The Measurement of Environmental and Resource Values. Resources for The Future. Washington, D.C.
Munasinghe, M. 1993. Environmental Economics and Sustainable Development. World Bank Environment Paper Number 3. The World Bank. Washington D.C.
Pearce, D.W dan Kerry Turner. 1991. Economics of Natural Resources and The Environment Harvester Wheatsheaf.
Pearce, D.W dan D. Moran, 1994. The Economic Value of Biodiversity. IUNC. Earthscan Publication, London.
Suparmoko dan Maria. 2000. Ekonomi Lingkungan. BPFE. Yogyakarta.
Turner R.K, D. Pearce dan I. Bateman. 1994. Environmental Economics: An Elementary Introduction. Harvester Wheatsheaf.
LAPORAN PRAKTIKUM
BUDIDAYA TANAMAN TAHUNAN
ACARA III
PENYADAPAN TANAMAN KARET
Disusun oleh:
Nama : Nur Chasanah
NIM : 11875
Gol./Kel : A3/5
Asisten : Ayuta Ratu Balqis
Siska Permata
Dedek Kurniawan
Sary Prihatini
LABORATORIUM MANAJEMEN DAN PRODUKSI TANAMAN
JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2012
ACARA III
PENYADAPAN TANAMAN KARET
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karet menjadi salah satu komoditi perkebunan penting, baik sebagai sumber pendapatan, kesempatan kerja dan devisa, pendorong pertumbuhan ekonomi sentra-sentra baru di wilayah sekitar perkebunan karet serta pelestarian lingkungan dan sumberdaya hayati. Namun sebagai negara dengan luas areal terbesar dan produksi kedua terbesar dunia, Indonesia masih menghadapi beberapa kendala, yaitu produktivitas serta kualitas produk yang masih rendah dibandingkan dengan produksi dari negara-negara pesaing lain di dunia seperti Malaysia dan Thailand.
Karet di Indonesia sebagian besar didominasi oleh pengusahaan dalam bentuk perkebunan rakyat. Seiring dengan kebutuhan karet di pasar internasional yang cenderung meningkat, Indonesia memiliki potensi yang besar untuk dapat menguasai pasar karet dunia melalui potensi sumberdaya alamnya. Namun, hal terpenting lainnya yang harus menjadi pertimbangan untuk terus ditingkatkan adalah kualitas sumberdaya manusia serta sarana penunjang lain untuk dapat memenuhi tuntutan kuantitas dan kualitas produk yang sesuai dengan permintaan pasar.
Kualitas dan kuantitas produksi tanaman karet ditentukan oleg tiga faktor, yaitu sifat klon tanaman, faktor lingkungan, serta sistem eksploitasinya. Pemungutan hasil sebagai bagian dari sistem eksploitasi dilakukan dengan melakukan penyadapan kulit batang untuk mendapatkan lateksnya. Penyadapan harus dilakukan dengan hati-hati, Kesalahan dalam penyadapan akan menyebabkan produksi karet berkurang. Penyadapan harus mengikuti aturan tertentu agar diperoleh hasil yang tinggi, menguntungkan, serta berkesinambungan dengan tetap memperhatiakan faktor kesehatan tanaman. Pengetahuan terkait cara-cara penyadapan yang sesuai dengan kaidah menjadi sangat penting untuk efektivitas dan efisiensi produksi, bagi mahasiswa pertanian pada umunya menjadi dasar pengetahuan untuk bekal sebelum terlibat langsung sebagai bagian dari stakeholder budidaya tanaman karet di masa mendatang.
B. Tujuan
Mengetahui cara-cara melakukan penyadapan tanaman karet.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman karet termasuk famili Euphorbiace atau tanaman getah-getahan. Dinamakan demikian karena golongan famili ini mempunyai jaringan tanaman yang banyak mengandung getah (lateks) dan getah tersebut mengalir keluar apabila jaringan tanaman terlukai. Mengingat manfaat dan kegunaannya, tanaman ini digolongkan ke dalam tanaman industri. Tanaman karet berasal dari lembah Amazon. Karet liar atau semi liar masih ditemukan di bagian utara benua amerika selatan, mulai dari Brazil hingga Venezuela dan dari Kolombia hingga Peru dan Bolivia (Ghani et al., 1989).
Karet merupakan salah satu komoditi perkebunan penting, baik sebagai sumber pendapatan, kesempatan kerja dan devisa, pendorong pertumbuhan ekonomi sentra-sentra baru di wilayah sekitar perkebunan karet maupun pelestarian lingkungan dan sumberdaya hayati. Namun sebagai negara dengan luas areal terbesar dan produksi kedua terbesar dunia, Indonesia masih menghadapi beberapa kendala, yaitu produktivitas, serta kualitas produk yang masih rendah (Penangkaran Bibit Karet Tresno Maju, 2010).
Indonesia pernah menguasai produksi karet dunia, namun saat ini posisi Indonesia didesak oleh dua negara tetangga Malaysia dan Thailand. Lebih dari setengah karet yang digunakan sekarang ini adalah sintetik, tetapi beberapa juta ton karet alami masih diproduksi setiap tahun, dan masih merupakan bahan penting bagi beberapa industri termasuk otomotif dan militer (Maryadi, 2005).
Kondisi agribisnis karet saat ini menunjukkan bahwa karet
dikelola oleh rakyat, perkebunan negara dan perkebunan swasta. Pertumbuhan karet rakyat masih positif walaupun lambat yaitu 1,58%/tahun, sedangkan areal perkebunan negara dan swasta sama-sama menurun 0,15%/th. Oleh karena itu, tumpuan pengembangan karet akan lebih banyak pada perkebunan rakyat. Namun luas areal kebun rakyat yang tua, rusak dan tidak produktif mencapai sekitar 400 ribu hektar yang memerlukan peremajaan. Persoalannya adalah bahwa belum ada sumber dana yang tersedia untuk peremajaan. Di tingkat hilir, jumlah pabrik pengolahan karet
sudah cukup, namun selama lima tahun mendatang diperkirakan akan diperlukan investasi baru dalam industri pengolahan, baik untuk menghasilkan crumb rubber maupun produk-produk karet
lainnya karena produksi bahan baku karet akan meningkat (Penangkaran Bibit Karet Tresno Maju, 2010).
Pemungutan hasil tanaman karet disebut penyadapan karet. Penyadapan merupakan salah satu kegiatan pokok dari pengusahaan tanaman karet. Tujuan dari penyadapan karet ini adalah membuka pembuluh lateks pada kulit pohon agar lateks cepat mengalir. Kecepatan aliran lateks akan berkurang apabila takaran cairan lateks pada kulit berkurang. Oleh sebab itu penyadapan harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak merusak kulit tersebut. Jika terjadi kesalahan dalam penyadapan, maka produksi karet akan berkurang Untuk memperoleh hasil sadap yang baik, penyadapan harus mengikuti aturan tertentu agar diperoleh hasil yang tinggi, menguntungkan, serta berkesinambungan dengan tetap memperhatiakan factor kesehatan tanaman (Santosa, 2007).
Penyadapan tanaman karet dilakukan dengan menerapkan sistem yang telah disepakati secara internasional. Penyadapan pada batang utama (atau cabang untuk tanaman menjelang ditumbang) bertujuan untuk pemutusan atau pelukaan pembuluh lateks di kulit pohon. Pembuluh lateks yang putus atau luka kelak akan pulih kembali sehingga bila dilakukan penyadapan untuk kedua kalinya luka tersebut telah pulih dan lateks akan mengalir lagi dengan baik (Siregar, 1995).
Menurut Pendle, lateks mengandung beragam jenis protein katena lateks adalah cairan sitiplasma, protein ini termasuk enzim-enzim yang berperan dalam sintesis molekul karet. Sebagian protein hilang sewaktu pemekatan lateks yaitu karena pengendapan riteria a terbuang dalam lateks skim. Protein yang tersisa dalam lateks pekat kurang lebih adalah 1% terhadap berat lateks dan terdistribusi pada permukaan karet (60%) dan sisanya sebesar 40% terlarut dalam serum lateks pekat tersebut (Pendle, 1992).
Di tingkat hilir, jumlah pabrik pengolahan karet sudah cukup, namun selama lima tahun mendatang diperkirakan akan diperlukan investasi baru dalam riteria pengolahan, baik untuk menghasilkan crumb rubber maupun produk-produk karet lainnya karena produksi bahan baku karet akan meningkat. Kayu karet sebenarnya mempunyai potensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan furniture tetapi belum optimal, sehingga diperlukan upaya pemanfaatan lebih lanjut (Maryadi, 2005).
Produksi lateks dari tanaman karet disamping ditentukan oleh keadaan tanah dan pertumbuhan tanaman, klon unggul, juga dipengaruhi oleh teknik dan manajemen penyadapan. Apabila ketiga riteria tersebut dapat terpenuhi, maka diharapkan tanaman karet pada umur 5 – 6 tahun telah memenuhi criteria matang sadap. Kriteria matang sadap antara lain apabila keliling lilit batang pada ketinggian 130 cm dari permukaan tanah telah mencapai minimum 45 cm. Jika 60% dari populasi tanaman telah memenuhi riteria tersebut, maka areal pertanaman sudah siap dipanen (Suhendry dan Daslin, 2002).
III. METODOLOGI
Praktikum Budidaya Tanaman Tahunan acara III dengan judul Penyadapan Tanaman Karet ini dilaksanakan pada tanggal 14 Maret 2012 di Laboratorium Manajemen dan Produksi Tanaman, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah pisau sadap, mangkuk, sigmat, cincin mangkuk, meteran, pisau mal, talang lateks, dan tali cincin. Adapun bahan yang digunakan yaitu pohon karet dewasa.
Langkah penyadapan dimulai dengan memilih pohon karet siap sadap atau yang memiliki kriteria sadap. Pada kulit batang dibuat pola sadap, mula-mula ditentukan bukaan sadap 90-100 cm dari permukaan tanah. Selanjutnya, digambar bidang sadap dengan bentuk spiral dari kiri atas ke kanan bawah membentuk sudut 20-450 terhadap haris horisontal. Kemudian, kulit pohon dibersihkan serta diiris dengan tebal irisan 1,5-2,0 mm dan kedalaman irisan 1,0-1,5 mm. Lateks yang keluar ditampung dengan mangkuk sadap yang dipasang pada ujung alur sadap yang telah dibuka.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tanaman karet merupakan salah satu komoditas perkebuan andalan Indonesia, bersaing dengan Malaysia dan Thailand sebagai penghasil karet alam besar di dunia. Budidaya karet di Indonesia semakin berkembang seiring dengan semakin terbukanya pasar karet dunia. Indonesai memiliki kemampuan sumberdaya alam yang sangat baik untuk pengusahaan budidaya karet dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia. Pada masa mendatang, Indonesia masih memiliki peluang yang besar untuk dapat kembali menguasai pasar karet dunia melalui pengoptimalan sumberdayanya, baik alam maupun manusianya.
Kondsisi agribisnis karet Indonesia saat ini masih dibatasi oleh kendala produktivitas dan kualitas karet yang masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan produksi negara-negara pesaingnya di dunia. Hal tersebut disebabkan oleh luasnya perkebuanan karet yang berada dalam kondisi renta untuk masih dapat diandalkan produksinya secara maksimal serta masih cukup lemahnya sistem eksploitasi baik dari teknik maupun kelembagaannya.
Produksi karet pada dasarnya ditentukan oleh tiga faktor, yaitu sifat klon tanaman, faktor lingkungan. Apabila ketiganya berada pada kondisi yang saling mendukung maka produksi baik secara kuantitas maupun kualitasnya akan dapat tercapai secara optimal dan berkesinambungan. Eksploitasi tanamna karet dilakukan dengan penyadapan, yaitu Penyadapan merupakan kegiatan meluaki/membuka jaringan lateks pada kulit batang pohon karet agar lateks mengalir keluar dari pohon kemudian ditampung dalam mangkuk. Kecepatan aliran lateks akan berkurang apabila takaran cairan lateks pada kulit berkurang. Dalam proses penyadapan terdapat beberapa prinsip yang harus diperhatikan agar produksi lateks dapat diambil secara optimal. Hal itu berkaitan dengan segi fisiologi pembuluh sadap dan dari segi pengaliran sadap. Penyadapan harus dilakukan dari arah kiri atas ke kanan bawah. Hal ini dilakukan karena pembuluh lateks mengalir spiral yang berlawanan arah dengan arah jarum jam ke arah atas batang. Sehingga untuk memaksimalkan keluarnya lateks maka proses pelukaan harus dilakukan dari kiri atas ke kanan bawah agar jumlah lateks yang dikeluarkan dalam jumlah yang banyak.
Lateks adalah getah seperti susu dari banyak tumbuhan yang membeku ketika terkena udara. Ini merupakan emulsi kompleks yang mengandung protein, alkaloid, pati, gula, minyak, tanin, resin, dan gom. Pada banyak tumbuhan lateks biasanya berwarna putih, namun ada juga yang berwarna kuning, jingga, atau merah Untuk memperoleh hasil sadap yang baik, penyadapan harus mengikuti aturan tertentu agar diperoleh hasil yang tinggi, menguntungkan, serta berkesinambungan dengan tetap memperhatiakan faktor kesehatan tanaman.
Tanaman karet siap sadap pada saat sudah matang sadap pohon yang tercapai apabila sudah mampu diambil lateksnya tanpa menyebabkan gangguan terhadap pertumbuhan dan kesehatan tanaman. Kesanggupan tanaman untuk disadap dapat ditentukan berdasarkan umur dan lilit batangnya. Pohon siap sadap memiliki diameter sedikitnya 45 cm diukur 100 cm dari pertautan sirkulasi dengan tebal kulit minimal 7 mm dan tanaman tersebut harus sehat. Kondisi tersebut pada umumnya dicapai sesudah tanaman berumur 5-6 tahun. Semakin bertambah umur tanaman semakin meningkatkan produksi lateksnya. Mulai umur 16 tahun produksi lateksnya dapat dikatakan stabil sedangkan sesudah berumur 26 tahun produksinya akan menurun.
Kualitas sadap dipengaruhi oleh umur ekonomi tanaman. Kualitas sadapan yang jelek akibat irisan yang terlalu dalam, sudut sadap yang besar, luka sadap yang banyak serta pemakaian kulit yang boros akan mempersingkat umur ekonomi tanaman atau memperpendek siklus penyadapan. Penyadapan yang cepat cenderung menyebabkan pemakaian kulit lebih efisien karena sudut sadap yang kecil, pemakaian kulit hemat, sayatan dangkal sehingga luka pohon semakin sedikit.
Sistem pengambilan lateks yang mengikuti aturan-aturan tertentu dengan tujuan memperoleh produksi tinggi, secara ekonomis menguntungkan dan berkesinambungan merupakan sistem eksploitasi yang dianjurkan. Sistem eksploitasi yang dikenal adalah:
1. Sistem eksploitasi konvensional, merupakan sistem sadap biasa tanpa menggunakan stimulan. Kelebihannya tergantung pada perangsang dansesuai dengan keadaan tanaman walaupun kurang baik pertumbuhannya. Kelemahannya kulit batang akan cepat habis.
2. Sistem sadap stimulasi, adalah sistem sadap kombinasi dengan menggunakan perangsang. Pemberian perangsang dimakduskan untuk meningkatkan produksi yang dapat dilakukan pada pohon karet yanng telah berumur lebih dari 15 tahun.
3. Sistem eksploitasi tusuk atau mikro, sistem tusukan pada jalur kulit yang diberi perangsang yang dilakukan dengan cara menusuk kulit batang tanaman denagn jarum. Kelebihan sistem ini adalah produksi lateks tinggi, pelaksanaannya mudah, kandungan zat gula lateks tetap tinggi gerakan zat gula dalam kulit tidak terhalangi, kekeringan alur sadap dapat dihindari dan dapat dilakukan pada tanaman yang beruamur 3 tahun.
Terdapat dua metode yang biasa digunakan untuk melakukan penyadapan karet, yaitu metode sadap atas dan metode sadap bawah. Masing-masing metode tersebut memiliki kekurangan dan kelebihan. Keunggulan dari metode sadap atas adalah :
1. Lateks dapat mengalir dan menetes lebih cepat dibandingkan dengan merode sadap bawah. Hal ini karena sadapan tepat memotong pembuluh lateks dengan kemiringan 90º sehingga lateks mengalir keluar dengan lancar,
2. Mempunyai tingkat kekeringan bidang sadap yang rendah karena daerah aliran lateks sebagian besar terletak pada bagian kulit yang akan disadap. Penyadapan berikutnya berada di atas irisan sadapan sehingga aliran lateks tidak terhalang. Keadaan ini hanya berlaku untuk kulit yang masih baru.
3. Sadapan atas juga dapat memperpanjang umur ekonomis pohon melalui penghematan penggunaan kulit.
Sadapan ke atas bukanlah suatu teknik sadapan yang hanya digunakan untuk sadapan mati pada tahun-tahun terakhir dari umur yang memberikan keuntungan ekonomis dari pohon karet. Teknik tersebut dapat juga sebagai sistem yang diintegrasikan dalam suatu program eksploitasi jangka panjang dari tanaman karet.
Adapun keunggulan dari metode sadapan bawah terletak pada nilai teknis dan aplikasinya. Metode sadap bawah lebih mudah dilaksanakan dibanding metode sadap atas, sehingga metode sadap bawah lebih sering digunakan. Namun jika dilihat dari tingkat efisiensi dan tingkat keefektivan hasil dari dua metode tidak berbeda jauh.
Sistem sadapan menggambarkan kombinasi antara jumlah sayatan/potongan per pohon, panjang sayatan, dan frekuensi sadapan. Penyadapan dilakukan dengan metode setengah spiral, bukan satu spiral penuh, Hal ini berdasarkan pertimbangan untuk dapat mempertahankan proses fisiologis tanaman (fotosintesis) berlangsung dengan baik sehingga produktivitasnya tetap stabil dan kontinyu. Lateks merupakan hasil fotosintesis yang kemudian disimpan dalam jaringan tanaman yang disebut pembuluh lateks sehingga terganggunya proses fotosintesis akan berakibat pada berkurangnya jumlah lateks yang dihasilkan. Pembuluh lateks berada pada posisi yang tidak vertikal melainkan sedikit miring dengan sudut kemiringan 30% dan tersusun konsentris. Makin ke arah dalam (ke arah kambium) jumlah pembuluh semakin banyak sehingga jumlah sadapan akan berbanding lurus dengan kedalaman sadapan. Namun demikian, agar penyadapan yang dilakukan tidak membahayakan kesehatan tanaman, sebaiknya luka sadapan tidak terlalu dalam, yaitu di jaringan luar kambium. Untuk mempercepat kesembuhan luka sadapan, kedalaman sadapan diharapkan tidak sampai menyentuh kayu (xilem), sekitar 1,5 mm sebelum kambium. Kambium yang terluka akan menghambat proses pembentukan kulit pulihan berpengaruh besar pada kelanjutan produksi tanaman karet untuk masa yang akan datang.
Waktu penyadapan merupakan salah satu faktor pertmbangan yang harus diperhatikan untuk mendapatkan hasil penyadapan yang optimum dengan tetap mempertahankan produktivitas tanaman. Aliran keluarnya lateks sangat dipengaruhi oleh tekanan turgor tanaman. Atas dasar hal tersebut, penyadapan sebaiknya dilakukan pada pagi hari sebelum pukul 09.00 WIB karena pada saat itu tekanan turgor meningkat sehingga lateks yang dapat dihasilkan lebih banyak. Pada siang hari tekanan turgor akan menurun sehingga menurunkan pula produksi lateksnya.
Waktu bukaan sadap adalah 2 kali setahun yaitu, pada (a) permulaan musim hujan (Juni) dan (b) permulaan masa intensifikasi sadapan (bulan Oktober). Oleh karena itu, tidak secara otomatis tanaman yang sudah matang sadap lalu langsung disadap, tetapi harus menunggu waktu tersebut di atas tiba.
Musuh yang paling mengganggu para penyadap karet (Hevea brasiliensis) adalah hujan di pagi hari. Sebab jika kulit batang karet (balam) basah, getah akan luber keluar dari jalur (pelat) yang dibentuk oleh tarikan pahat. Jika hujan pagi, berarti hari libur para penyadap karet (penakok). Sedang musuh yang paling ditakutkan adalah hujan turun saat ngangkit (mengumpulkan getah dari sayak atau mangkuk penampung). Hasil memutari pohon-pohon karet satu kebun bisa jadi tanpa hasil jika air hujan meluberi sayak (tempurung penampung) cairan getah karet. Namun musuh yang paling dibenci para penyadap karet adalah harga getah/lateks “jatuh” sedang harga kebutuhan sehari-hari meninggi.
Untuk mendapatkan lateks yang bersih, diperlukan cara kerja yang baik dan rapi. Bidang sadap, mangkok aluminium penampung, dan kaleng pengumpul haruslah bersih. Selain itu harus juga dipastikan bahwa tanaman dalam keadaan sehat agar tidak terjadi infeksi pada biang sadapan. Peralatan sadap menentukan keberhasilan penyadapan. Semakin baik alat yang digunakan, semakin bagus hasilnya.
Berbagai peralatan sadap yang digunakan adalah sebagai berikut :
1. Mal sadap
Keterangan:
Mal sadap berfungsi membuat gambar sadapan yang menyangkut kemiringan sadapannya, biasanya digunakan sebagai pola rencana penyadapan untuk jangka waktu tertentu (biasanya 6 bulan). Mal sadap dibuat dari sepotong kayu dengan panjang 130 cm yang dilengkapi plat seng selebar + 4 cm dan panjangnya antara 50-60 cm. Plat seng dengan kayu membentuk sudut 120º (Siregar, 1995).
2. Pisau sadap atas
Keterangan:
Pisau sadap ada 2 macam, yaitu pisau untuk sadap atas dan pisau untuk sadap bawah. Pisau sadap harus mempunya ketajaman yang tinggi, karena berpengaruh pada kecepatan menyadap dan kerapihan sadapan. Pisau sadap atas bertangkai panjang untuk menyadap kulit karet pada bidang sadap atas dengan ketinggian di atas 130 cm. Alat ini dibuat dari besi panjang dengan ujung runcing dan pegangannya terbuat dari kayu atau plastik. Bagian runcing inilah yang digunakan untuk menoreh kulit batang pohon karet (Nazaruddin,1998).
3. Pisau sadap bawah
Keterangan:
Ketajaman pisau berpengaruh pada kecepatan menyadap dan kerapihan menyadap. Pisau sadap mempunyai tangkai yang panjang untuk mempermudah penyadapan. Pisau sadap bawah digunakan untuk menyadap kulit karet pada bidang sadap bawah, ketinggian mulai 130 cm ke arah bawah. Pisau sadap bentuknya beragam sesuai anjuran perkebunan karet di Indonesia, ada 3 macam bentuk pisau sadap, pisau sadap fauna buatan Jerman, pisau sadap PTPN X, dan pisau sadap biasa (Siregar, 1995).
4. Talang lateks (spout)
Keterangan:
Talang lateks berfungsi untuk mengalirkan cairan lateks atau getah karet dari irisan sadap ke dalam mangkok. Talang lateks terbuat dari seng dengan lebar 2,5 cm dan panjangnya antara 8-10 cm. Pemasangan talang lateks pada pohon karet dilakukan dengan cara ditancapkan 5 cm dari titik atau ujung terendah irisan sadapan. Penancapannya hendaknya tidak terlalu dalam agar tidak merusak lapisan kambium atau pembuluh empulur karet (Siregar, 1995).
5. Mangkok atau cawan
Keterangan:
Mangkok ini berfungsi sebagai penampung lateks yang mengalir dari bidang irisan melalui talang. Mangkok ini biasanya dibuat dari tanah liat atau plastik atau aluminium. Paling baik adalah dibuat dari aluminium karena tahan lama dan bisa menjamin kualitas lateks. Namun sulit dicari dan harganya yang cukup mahal. Mangkok dipasang 10 cm di bawah talang (Siregar, 1995).
6. Cincin mangkok
Keterangan:
Cincin mangkok berfungsi sebagai tempat meletakkan mangkok sadap atau cawan. Bahan yang digunakan untuk pembuatan cincin mangkok ini adalah kawat. Biasanya cincin ini digantungkan atau dicantolkan pada tali cincin. Diameter cincin dibuat sedikit lebih besar dari ukuran mangkok sadap agar mangkok bisa masuk ke dalam cincin (Siregar, 1995).
7. Tali cincin
Keterangan:
Tali cincin berfungsi sebagai tempat untuk mencantolkan cincin mangkok sehingga mutlak harus disediakan. Biasanya tali cincin dibuat dari kawat atau ijuk. Letaknya pada pohon karet disesuaikan dengan keadaan cincin mangkok, jangan sampai terlalu jauh dari cincin mangkok. Sebagaimana talang lateks, kedudukan tali cincin juga berubah tiap periode tertentu (Siregar, 1995).
8. Meteran gulung (rol meter)
Keterangan:
Meteran gulungan berfungsi untuk menentukan tinggi bidang sadap (meteran kayu) dan mengukur lilit batang pohon karet (meteran gulung). Meteran yang digunakan terbuat dari bahan lunak atau kulit. Meteran kulit disebut juga meteran gulung dengan panjang 150-200 cm (Siregar, 1995).
9. Meteran kayu
Keterangan:
Fungsi meteran kayu ini yaitu untuk mengukur tinggi sadapan.Biasanya terbuat dari kayu (panjang 130 cm) dan berbentuk panjang pipih . Penggaris diletakkan dari permukaan tanah ke arah vertikal pada pohon karet sampai jarak 130 cm (Nazaruddin, 1998).
10. Pisau mal
Keterangan:
Pisau mal berfungsi sebagai alat untuk menoreh kulit batang karet saat akan membuat gambar bidang sadap. Alat ini dibuat dari besi panjang dengan ujung runcing dan pegangannya terbuat dari kayu atau plastik. Bagian runcing inilah yang digunakan untuk menoreh kulit batang pohon karet (Siregar, 1995)
11. Quadri/ Sigmat
Keterangan:
Sigmat ditempatkan pada bagian pohon yang akan diukur tebal kulitnya, ditekan sampai terasa keras atau tidak dapat menembus kulit lebih dalam lagi. Ketebalan kulit pohon diketahui dengan membaca skala (Nazaruddin, 1998). Alat ini berfungsi untuk mengukur tebalnya kulit batang yang disisakan saat penyadapan. Tujuannya agar penyadapan tidak sampai melukai kambium atau pembuluh empulurnya. Alat ini terbuat dari besi, bagian ujung seperti jarum dengan panjang 1-1,5 mm (Siregar, 1995).
Untuk memperoleh hasil sadap yang baik, pelaksaan penyadapan harus mengikuti aturan tertentu agar diperoleh hasil yang tinggi, menguntungkan, serta berkesinambungan dengan tetap memperhatikan faktor kesehatan tanaman :
1. Penyadapan pertama dilakukan setelah tanaman berumur 5-6 tahun.
2. Hal yang perlu diperhatikan dalam penyadapan antara lain:
- Pembukaan bidang sadap dari kiri atas kekanan bawah, membentuk sudut 30º.
- Tebal irisan sadap dianjurkan 1,5 - 2 mm.
- Dalamnya irisan sadap 1-1,5 mm.
- Waktu penyadapan yang baik adalah jam 5.00 - 7.30 pagi.
3. Tinggi bukaan sadap, baik dengan sistem sadapan ke bawah (Down ward tapping system, DTS) maupun sistem sadap ke atas (Upward tapping system, UTS) adalah 130 cm diukur dari permukaan tanah.
4. Waktu bukaan sadap adalah 2 kali setahun yaitu, pada (a) permulaan musim hujan (Juni) dan (b) permulaan masa intensifikasi sadapan (bulan Oktober). Oleh karena itu, tidak secara otomatis tanaman yang sudah matang sadap lalu langsung disadap, tetapi harus menunggu waktu tersebut di atas tiba.
5. Secara umum, permulaan sadapan dimulai dengan sudut kemiringan irisan sadapan sebesar 400 dari garis horizontal. Pada sistem sadapan bawah, besar sudut irisan akan semakin mengecil hingga 300 bila mendekati "kaki gajah" (pertautan bekas okulasi). Pada sistem sadapan ke atas, sudut irisan akan semakin membesar.
Berikut ini adalah beberapa istilah umum dalam penyadapan yang penting utuk diketahui :
1. Alur sadap, terbagi menjadi 3 bentuk, yaitu S (alur bentuk spiral), V (alur bentuk V) dan C (tanpa bentuk). Dibuat dari kiri atas ke kanan bawah. Dilakukan karena pembuluh lateks letaknya tidak lurus, melainkan miring dari kanan atas ke kiri bawah sehingga dengan kemiringan yang demikian akan didapat lateks maksimal.
2. Panjang alur sadap dapat dinyatakan dengan rumus antara lain S/1 (1spiral), S/2 (setengah spiral), V/2 (setengah V), C/3 (sepertiga tanpa bentuk), dengan berbagai rumus panjang alur sadap ini bervariasi tergantung keinginan penyadap.
3. Banyaknya alur sadap ada 3, 2S/2 (dua sayatan dengan setengah spiral), 2V/2 (dua sayatan dengan setengah V), dan 2C/2 (dua sayatan dengan tanpa bentuk).
4. Jangka waktu sadapan biasanya dinyatakan dengan satuan waktu dan angka pembagi secara kontinu. Satuan waktunya adalah d (hari), w (minggu), m (bulan), dan y (tahun). Jika ada sistem sadapan d/1, setiap hari. d/2 dua hari 1 kali, dst.
Sistem sadap yang baik adalah sistem yang memperhatikan hal-hal berikut:
a. Mampu memberikan hasil sadap yang tinggi, baik per hektar maupun per penyadapan.
b. Biaya penyadapan murah.
c. Memberikan kesempatan yang terbaik bagi pohon karet untuk terus tumbuh dan memulihkan kulit dengan baik, serta melakukan pengendalian penyakit kulit sadapan bila diperlukan.
d. Pemakaian kulit rendah.
e. Tidak mengabaikan peningkatan persentase penyakit Brown Bank Disesase.
f. Tidak menyulitkan pemungutan dan pengolahan hasil karena penetesan lanjutan, prekoagulasi, KKN terlalu rendah dan terlalu paralel tiap hari,dll.
Hasil lateks dapat ditingkatkan dengan penggunaan stimulan, misalnya Ethrel yang diberikan disebelah atas sadapan. Stimulan tersebut mampu meningkatkan jumlah lateks yang dihasilkan tanaman karet. Zat stimulan yang lain misalnya ELS dan Cepha. Namur, terdapat beberapa klon karet yang tidak dapat merespon adanya stimulan ini karena ketidakcocokan bahan dengan sifat klon tersebut. Apabila menggunakan stimulant frekuensi sadapan dapat diperkecil agar terjadi keseimbangan dan menjaga kesehatan tanaman. Pada dasarnya stimulasi adalah untuk menghemat biaya tenaga kerja dengan tetap mempertahankan hasil lateks tinggi.
Dalam praktiknya untuk kelangsungan produksi, hal yang sangat mendasar adalah di dalam pemulihan bidang sadap. Agar bidang sadap dapat kembali pulih tentu ada yang dipelukan di dalam penyadapanya. Menghindari penggunaan Ethepron pada pohon yang terkena kekeringan alur sadap adalah salah satu cara agar bidang sadp dapat kembali pulih dan pohon yang mengalami kekeringan alur.
Memperistirahtkan tanaman dalam waktu tertentu juga merupakan konsep pemulihan bidang sadap, karena tanaman akan mengoptimalakan kembali bagian-bagian tanaman yang telah mengalami pelukaan. Begitu juga dengan pemberian unsur hara untuk kelnjutan tanaman itu sendiri sehingga pertumbuhanya akan lebih optimal tentunya pemulihan bagian-bagian yang disadap.
Penyakit kekeringan alur sadap mengakibatkan kekeringan alur sadap sehingga tidak mengalirkan lateks, namun penyakit ini tidak mematikan tanaman. Penyakit ini disebabkan oleh penyadapan yang terlalu sering, terlebih jika disertai dengan penggunaan bahan perangsang lateks ethepon. Adanya kekeringan alur sadap mula-mula ditandai dengan tidak mengalirnya lateks pada sebagian alur sadap. Kemudian dalam beberapa minggu saja keseluruhan alur sadap ini kering tidak me-ngeluarkan lateks. Bagian yang kering akan berubah warnanya menjadi cokelat karena pada bagian ini terbentuk gum (blendok). Kekeringan kulit tersebut dapat meluas ke kulit lainnya yang seumur, tetapi tidak meluas dari kulit perawan ke kulit pulihan atau sebaliknya. Gejala lain yang ditimbulkan penyakit ini adalah terjadinya pecah-pecah pada kulit dan pembengkakan atau tonjolan pada batang tanaman. Pengendalian penyakit ini dilakukan dengan:
V. KESIMPULAN
1. Penyadapan merupakan pemungutan hasil tanaman karet dengan cara membuka jaringan lateks agar lateks mengalir keluar dari pohon yang kemudian akan ditampung dalam mangkuk sadap.
2. Penyadapan dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu sadap atas dan sadap bawah.
3. Penyadapan dilakukan pada tanaman yang memiliki kriteria sadap yaitu lilit batang 45 cm pada ketinggian 1 meter di atas permukaan tanah (semaian) atau 1 meter di atas tautan (okulasi), berumur minimal 5-6 tahun dengan tebal kulit ± 7-8 cm.
4. Waktu penyadapan yang tepat ádalah pada pagi hari sebelum jam 09.00 karena pada saat itu tekanan turgor tinggi sehingga produksi lateks meningkat.
5. Penyadapan harus memperhatikan prinsip-prinsip penyadapan, sistem sadap, kriteria matang sadap, maupun pelaksanaan penyadapan itu sendiri untuk menjamin produksi lateks dengan kualitas dan kuantitas tinggi dan tetap memperhatikan kesehatan tanaman untuk keberlanjutan produksi.
6. Kuantitas dan kualitas produksi lateks dipengaruhi oleh klon tanaman, faktor lingkungan, dan sistem eksploitasinya.
7. Alat-alat yang digunakan untuk penyadapan adalah mal sadap, tali cincin, mangkok sadap, cincin mangkok, talang lateks, meterán, pisau mal, dan quadri/ sigmat.
8. Stimulan berfungsi untuk meningkatkan produksi lateks yang dihasilkan.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, C. 2001. Manajemen dan Teknologi Budidaya Karet. Pusat Penelitian Karet. Medan.
Ghani, A.M.N., O.S. Huat dan M. Wesel. 1989. Hevea brasiliensis (Wild. Ex A.L. Juss.) Muell. Arg. Dalam Westphal dan P.C.M. Jansen, (Ed). Plant Resources of South East Asia 152-161.
Maryadi., 2005. Manajemen Agrobisnis Karet. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Nazaruddin dan F.B. Paimin. 1998. Karet. Penebar Swadaya. Jakarta.
Penangkaran Bibit Karet Tresno Maju. 2010. Agrobisnis Perkebunan Karet. Lampung.
Pendle. P.D. 1992. The Production, composition, and chemistry of natural latex concentrates in sensitivity to latex in medical device (FDA Ed.). Program and Proceedings of International Latex Conference, 13 : 5-7.
Santosa. 2007., Karet. (http://id.wikipedia.org/wiki/karet). Diakses tanggal 16 Maret 2012.
Siregar, T.H.S. 1995. Teknik Penyadapan Karet. Kanisius. Yogyakarta.
Suhendry, I. dan A. Daslin. 2002. Kajian finansial penggunaan klon karet unggul generasi IV. Warta Pusat Penelitian Karet 21 : 18-29.
LAPORAN PRAKTIKUM
BUDIDAYA TANAMAN TAHUNAN
ACARA IV
PENAKSIRAN PRODUKTIVITAS TANAMAN KELAPA
Disusun oleh:
Nama : 1. Aprian Heriyawan (11606)
2. Suseno Ari Wibowo (11690
3. Ratna Whayuningtyas (11799)
4. Gigin Anisolikhah (11721)
5. Nur Chasanah (11875)
Gol/Kel : A3/5
Asisten : Ayuta Ratu Balqis
Siska Permata
Dedek Kurniawan
Sary Prihatini
LABORATORIUM MANAJEMEN DAN PRODUKSI TANAMAN
JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2012
ACARA IV
PENAKSIRAN PRODUKTIVITAS TANAMAN KELAPA
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kelapa (Cocos nucifera L.) merupakan salah satu komoditi perkebunan yang penting bagi Indonesia disamping kakao, kopi, lada, dan vanili. Komoditi ini telah lama dikenal dan sangat berperan bagi kehidupan bangsa Indonesia baik ditinjau dari aspek ekonomi maupun aspek sosial budaya. Bagi masyarakat pedesaan, tanaman kelapa merupakan komoditi yang sangat bermanfaat untuk membantu menopang pemenuhan kebutuhan masyarakatnya melalui pemanfaatan bagian-bagiannya. Dapat dikatakan bahwa semua bagian tanaman ini dapat dimanfaatkan untuk berbagai kebuttuhan, mulai dari akar sampai daunnya. Salah satu bagian kelapa yang mempunyai banyak manfaat adalah daging buah Di Indonesia, kelapa banyak diusahakan sebagai perkebunan rakyat dengan produktivitas yang masih relatif rendah, 0,5 – 1 ton kopra per hektar per tahun, bila dibandingkan dengan kemampuannya untuk berproduksi sampai 2,0 ton kopra. Rendahnya produksi ini, disamping belum menggunakan bibit unggul dan kurangnya pemeliharaan juga disebabkan oleh umur tanaman yang telah tua dan lingkungan tumbuh yang tidak sesuai. Kondisi yang demikian mengakibatkan pendapatan petani kelapa sangat rendah.
Dewasa ini terdapat kecenderungan melambatnya pertumbuhan luas areal pertanaman dan produksi kelapa yang menunjukkan bahwa bisa jadi pada tahun-tahun mendatang akan terjadi kekurangan pasokan kelapa, karena jumlah tanaman yang menghasilkan akan berkurang disebabkan sudah tua atau rusak akibat hama dan penyakit dan bencana alam. Kurang menariknya harga kelapa sejauh ini menyebabkan perawatan dan pemeliharaan tanaman kelapa oleh petani tidak memadai. Agar produksi kelapa tidak menurun, maka pelaksanaan peremajaan dan rehabilitasi harus dilakukan secara terus menerus pada sekitar 20-30% pertanaman kelapa.
Terkait dengan pemanfaatannya yang sangat beragam dan sangat melekat dalam kehidupan masyarakat, produktivitas tanaman kelapa diharapkan dapat tetap berkelanjutan baik secara kuanititas maupun kualitas. Penaksiran produktivitas dalam skala mikro merupakan upaya yang dapat digunakan untuk memprediksi distribusi pendapatan petani secara mikro. Penaksiran produktivitas juga mempermudah perencanaan pemungutan panen yang akan dilakukan.
B. Tujuan
1. Mengetahui susunan dan sifat karakteristik buah kelapa.
2. Memilih buah kelapa yang baik untuk bahan tanam.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Kelapa merupakan tanaman perkebunan/industri berupa pohon batang lurus dari famili Palmae. Kelapa banyak terdapat di negara-negara Asia dan Pasifik yang menghasilkan 5.276.000 ton (82%) produksi dunia dengan luas ± 8.875.000 ha (1984) yang meliputi 12 negara, sedangkan sisanya oleh negara di Afrika dan Amerika Selatan. Indonesia merupakan negara perkelapaan terluas (3.334.000 ha tahun 1990) yang tersebar di Riau, Jateng, Jabar, Jatim, Jambi, Aceh, Sumut, Sulut, NTT, Sulteng, Sulsel dan Maluku, tapi produksi dibawah Philipina (2.472.000 ton dengan areal 3.112.000 ha), yaitu sebesar 2.346.000 ton (Anonim, 2009).
Kelapa merupakan komoditas perkebunan yang terluas diusahakan, dan berpengaruh besar dalam perekonomian nasional. Sebagai sumber pendapatan bagi petani, bahan baku industri dalam negri, sumber minyak nabati dan sumber devisa. Bagian yang dianggap penting dari kelapa adalah daging buahnya, yang hanya digunakan sebagai sumber buah nabati dalam bentuk minyak goreng maupun hasil olahannya. Kandungan 100 gr daging buah kelapa umur 11-12 bulan ternyata terdapat 359 gram kalori, 13,4 gram protein, 347 gram lemak dan 14,9 gram karbohidrat (Juniaty et al., 2000).
Pada perkebunan rakyat, kelapa umumnya ditanam secara monokultur sehingga tidak efisien dalam pemanfaatan lahan. Perakaran efektif rata-rata tanaman kelapa berada pada radius 2 m dari batang, sehingga 1 pohon kelapa hanya memerlukan 12,50 m2. Berdasarkan populasi tanaman dalam I hektar dapat dihitung lahan yang dapat dimanfaatkan. Pemanfaatan lahan secara monokultur kurang dianjurkan dari segi pemanfaatan lahan. Dari segi ekonomis cukup kuat alasan untuk untuk menanam tanaman sela di antara tanaman kelapa karena dapat meningkatkan pendapatan, lapangan kerja, dan penanggulangan hama. Dengan adanya tanaman sela, pemupukan yang diberikan pada tanaman sela sebagian akan mengalir ke kelapa. Demikian juga dengan pengolahan tanah dapat memperbaiki aerasi tanah dan mengurangi gulma dan hama/ penyakit, sehingga produksi kelapa dapat meningkat (Abdurachman dan Mulyani, 2003).
Kelapa memiliki variasi genetis yang besar dan hanya dapat dibiakkan secara generatif. Penyediaan bahan tanaman yang terpilih dan berkualitas baik akan lebih menjamin berhasilnya pertanaman. Kualitas bibit tergantung pada kualitas pohon induk darimana buah diambil. Dari pengamatan dilapangan terbukti bahwa pada tempat dan keadaan yang sama, banyaknya buah yang dihasilkan oleh pohon-pohon kelapa sangat bervariasi. Perbedaan kapasitas menghasilkan ini disebabkan oleh sifat genotipisnya.. Maka, memilih pohon induk yang baik merupakan suatu keharusan agar diperoleh tanaman yang baik kelak (Setyamidjaja, 1982).
Tanaman kelapa tumbuh di daerah tropis, dapat dijumpai baik di dataran rendah maupun dataran tinggi. Pohon ini dapat tumbuh dan berbuah dengan baik di daerah dataran rendah dengan ketinggian 0-450 m dari permukaan laut. Pada ketinggian 450-1000 m dari permukaan laut, walaupun pohon ini dapat tumbuh, waktu berbuahnya lebih lambat, produksinya lebih sedikit dan kadar minyaknya rendah (Sarmidi, 2009).
Terdapat dua jenis varietas kelapa, yaitu kelapa genjah (dwarft coconut) dan kelapa dalam (tall coconut). Hasil persilangan kedua varietas tersebut dihasilkan kelapa hibrida yang diharapkan memiliki sifat-sifat baik dari kedua induknya. Di Indonesia, terdapat beberapa varietas kelapa dalam di antaranya adalah Mapanget, Tenga, Bali, Palu, Sawarna dan Takome. Varietas kelapa genjah yang dikenal di Indonesia adalah kelapa genjah kuning Nias, Bali, Raja dan Salak. Kelapa hibrida yang dikenal di Indonesia adalah kelapa hibrida Indonesia KHINA-1 (Dalam Tengah X Genjah Kuning Nias), KHINA-2 ( Dalam Bali X Genjah Juning Nias), KHINA-3 (Dalam Palu X Genjah Kuning Nias), KHINA-4 (Dalam Mapanget X Genjah Raja) dan KHINA-5 (Dalam Mapanget X Genjah Bali) (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2007).
Buah kelapa berbentuk bulat panjang dengan ukuran kurang lebih sebesar kepala manusia, terdiri dari lima bagian, yaitu esokarp (kulit luar), mesokarp (sabut), endokarp (tempurung), daging buah dan air kelapa. Buah kelapa disusun oleh 25% esokarp dan mesokarp, 12% endokarp, 28% daging buah dan 25% air kelapa (Woodroof, 1979). Daging buah kelapa sendiri mengandung 52% air, 34% minyak, 3% protein, 1,5% karbohidrat dan 1% abu (Setyamidjaja, 1982).
Menurut Bahusin (1981), syarat-syarat buah yang baik adalah benih harus berasal dari pohon induk yang baik, bentuk benih bulat atau agak lonjong, ukuran buah sedang memiliki panjang kira-kira 22-25 cm dan lebar 17-22 cm serta berbobot berat, airnya cukup banyak, buah cukup matang (tua), serta kulit buah licin dan mulus. Buah kelapa dapat dipetik pada umur 14 bulan, pada saat pemetikan sebaiknya buah tidak dijatuhkan.
Menurut Child (1974), pada umur 9 bulan buah mencapai ukuran maksimal dengan berat 3-4 kg, berisi cairan 0.3-0.4 liter. Buah mencapai masak benar pada umur 12-13 bulan, tetapi beratnya turun menjadi 1.5-2.5 kg. Ruang bagian dalam endosperm tidak lagi berisi penuh air buah. Kandungan zat-zat berbeda-beda pada macam-macam bagian dari putih lembaga. Di sebelah pangkal tempurung terdapat tiga buah lubang tumbuh yang disebut “mata”. Salah satu “mata” berukuran paling besar tetapi tutup lubangnya paling lunak adalah tempat keluarnya lembaga pada saat biji/buah berkecambah. Daging buah terdiri atas 3 bagian, yaitu (1) Epicarp, yaitu kulit bagian luar yang permukaannyan licin, agak keras dan tebalnya ±1/7 mm; (2) Mesocarp, yaitu kulit bagian tengah yang disebut sabut. Bagian ini terdiri dari serat-serat yang keras tebalnya 3-5 cm; (3) Endocarp, yaitu bagian tempurung yang keras sekali. Tebalnya 3-6 mm. Bagian dalam melekat pada kulit luar dari biji/endosperm, dan (4) Putih lembaga atau endosperm yang tebalnya 8-10 mm.
III. METODOLOGI
Praktikum Budidaya Tanaman Tahunan acara IV dengan judul Penaksiran Produktivitas Tanaman Kelapa ini dilaksanakan di Laboratorium Manajemen dan Produksi Tanaman, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta pada tanggal 21 Maret 2012 dan di kebun kelapa milik Bapak Sugiyanto di Dusun Sendang Lor, Brebah, Sleman, Yogyakarta pada tanggal 25 Maret 2012. Dalam pelaksanaan praktikum, alat-alat yang digunakan adalah roll meter, busur derajat, alat tulis, kamera, hand counter, dan kendaraan. Adapun bahan yang diperlukan adalah kebun kelapa milik petani.
Praktikum ini dilaksanakan secara teori di laboratorium pada hari praktikum sesuai jadwal kemudian dilanjutkan dengan peninjauan langsung di kebun milik petani sesuai dengan hasil pembagian daerah berdasarkan undian. Syarat pemilihan lokasi yang dapat digunakan untuk pengamatan adalah kebun dengan minimal 10 tanaman kelapa di dalamnya. Pada hari yang telah disepakati, pengamatan dilakukan dengan datang ke kebun petani dan dimulai dengan wawancara dengan poin-poin pertanyaan yang telah disiapkan. Informasi yang ditanyakan adalah identitas petani (nama, umur, alamat, pekerjaan), luas halaman (lahan yang ditanami kelapa), jumlah pohon kelapa yang dimiliki, serta teknis budidayanya (asal bibit, penanaman, jarak tanam, pemeliharaan, pemanenan, dan pasca panen). Selanjutnya, diambil 3 sampel tanaman yang ada di kebun milik petani secara acak. Diamati beberapa parameternya, yaitu jenis tanaman kelapa (dalam, genjah, hibrida, gading, dll), tinggi tanaman, jumlah janjang per pohon, jumlah buah per janjang, dan perkiraan waktu panen yang akan datang. Selanjutnya, berdasarkan data hasil pengamatan diperkirakan beberapa produktivitas tanaman kelapa milik petani (Bapak Sugiyanto) dalam satuan butir kalapa per pohon per tahun. Hasil pengamatan dan wawancara dilaporkan secara kelompok.
Rumus Metode Pengukuran Tinggi Tanaman Pohon Kelapa :
tl : tinggi tanaman yang diamati
l
t0 : tinggi pengamat
l = jarak pengamat ke pohon
t1= l tg
Tinggi pohon kelapa (Tp) = t0 + t1
Produktivitas Tanaman Kelapa (PTK) = jumlah butir per janjang x jumlah janjang per pohon x jumlah panen per tahun
IV. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Pengamatan
Tabel 4.1 Hasil pengamatan tanaman kelapa
Parameter yang diamati Tanaman 1 Tanaman 2 Tanaman 3
Jenis tanaman kelapa Dalam Dalam Genjah
Tinggi tanaman 25,71 m 18,09 m 8,11 m
Jumlah jenjang per pohon 5 5 5
Jumlah buah per jenjang 6 5 7
Perkiraan waktu panen 30-35 hari 30-35 hari 30-35 hari
Produktivitas
Butir kelapa per pohon per tahun 300 butir 250 butir 350 butir
B. Perhitungan
a. Tinggi tanaman kelapa 1
t0 = 157cm
l = 1000 cm
= 750
t1 = 1000 tg 75o
= 2414,21 cm
Tp = 157 +2414,21
= 2571,21 cm
= 25,71 m
Tinggi tanaman kelapa 2
t0 = 157cm
l = 1200 cm
= 600
t1 = 1200 tg 60o
= 1651,66 cm
Tp = 157 + 1651,66
= 1808,66 cm
= 18,09 m
Tinggi tanaman kelapa 3
t0 = 157cm
l = 900 cm
= 400
t1 = 900 tg 40o
= 653,89 cm
Tp = 157 + 653,89
= 810,89 cm
= 8,11 m
b. Produktivitas Tanaman
- Tanaman Kelapa 1 (Dalam)
Buah kelapa dapat dipanen setelah berumur 35 hari, berarti dalam 1 tahun dapat dipetik ± 10 kali. Produktivitas tanaman kelapa per pohon = 6 butir X 5 jenjang X 10/tahun
= 300 butir/tahun/pohon.
- Tanaman Kelapa 2 (Dalam)
Buah kelapa dapat dipanen setelah berumur 35 hari, berarti dalam 1 tahun dapat dipetik ± 10 kali. Produktivitas tanaman kelapa perpohon = 5 butir X 5jenjang X 10/tahun
= 250 butir/tahun/pohon.
Jadi, produktivitas rata-rata untuk tanaman kelapa dalam = 1/2 (300 + 250),
= 275 butir/tahun/pohon
Produktivitas per hektar per tahun = (10.000 m2 / (7 pohon x 8 m x 9 m)) x 275 butir/pohon/tahun
= 5.456 butir per kehtar per tahun
Produktivitas per hektar dalam kopra = (5.456/5.000) x 1,25 ton kopra
= 1,36 ton kopra
- Tanaman Kelapa 3 (Genjah)
Buah kelapa dapat dipanen setelah berumur 35 hari, berarti dalam 1 tahun dapat dipetik ± 10 kali. Produktivitas tanaman kelapa perpohon = 7 butir X 5 jenjang X 10/tahun
= 350 butir/tahun/pohon
Produktivitas per hektar per tahun = (10.000 m2 / (5 pohon x 8 m x 9 m)) x 350 butir/pohon/tahun
= 9.722 butir per kehtar per tahun
Produktivitas per hektar dalam kopra = (9.722/9.000) x 1,5 ton kopra
= 1,62 ton kopra
Data yang diperoleh dari wawancara dengan petani.
1) Identitas Petani
o Nama : Sugiyanto
o Umur : 56 tahun
o Alamat : Sumber Lor, Kalitirto, Berbah, Sleman
o Pekerjaan : Buruh Tani
2) Luas lahan (yang ditanam kelapa) : ± 864 m2
Jumlah pohon kelapa : 12 Pohon (7 kelapa dalam, 5 kelapa genjah)
3) Teknis budidaya:
o Asal bibit : Dari buah yang dibiarkan bertunas
o Jarak tanam : 8 m x 9 m
o Pemeliharaan : awal pertumbuhan disiram, dipupuk NPK 2 kali setahun, penanganan hama wawung dengan penggaraman
o Pemanenan : dipetik manual dengan cara dipanjat
o Pasca panen : dimanfaatkan untuk kebutuhan sendiri, selebihnya dijual ke tengkulak
C. Pembahasan
Produksi merupakan hasil akhir dari proses atau aktifitas ekonomi dengan memanfaatkan beberapa masukan atau input. Dengan pengertian ini dapat dipahami bahwa kegiatan produksi adalah mengkombinasi berbagai input atau masukan untuk menghasilkan output. Efisiensi produksi dapat dinyatakan dalam parameter produktivitas, yaitu produksi per satu satuan unit faktor produksi tertentu dalam periode waktu tertentu.
Produktivitas merupakan fungsi dari faktor-faktor produksi, baik dari dalam sifat tanaman itu sendiri, lingkungan, maupun manajemen budidayanya. Masing-masing faktor saling berkaitan dalam mempengaruhi pertumbuhan tanaman sampai pada akhirnya tampak pada produktivitasnya. Tingkat produksi kelapa, di Indonesia pada khususnya dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut:
1. Umur tanaman
Tanaman kelapa memiliki usia tertentu untuk mulai dapat menghasilkan dengan usia tertentu di mana produksi mencapai jumlah tertinggi. Namun demikian, antiklimaks dari posisi tersebut pada umumnya tanaman kelapa akan mulai mengalami penurunan marjin produksi seiring dengan semakin bertambah tua usianya.
2. Varietas / jenis kelapa yang ditanam
Varietas yang digunakan menentukan sifat dasar tanaman terkait dengan potensinya untuk mampu tumbuh, berkembang dan berproduksi dengan baik. Varietas unggul merupakan investasi awal yang sangat menentukan keberhasilan budidaya kelapa. Penggunaan varietas unggul akan dapat menekan risiko kegagalan melalui rekayasa input produksi yang lain yang dapat mendukung sifat baik yang ada pada varietas yang digunakan. Penggunaan input produksi menjadi lebih efektif dan efisien serta mampu merespon faktor lingkungan seperti hama dan penyakit secara lebih terkendali.
3. Perlakuan budidaya
Perlakuan budidaya merupakan upaya mengkoordinasikan potensi faktor produksi yang ada untuk sedemikian rupa berada pada kondisi saling mendukung. Dalam hal ini, risiko sekecil-kecilnya merupakan output yang diharapkan dari perlakuan budidaya. Perlakuan budidaya dimaksudkan untuk mempertahankan potensi aktual, baik dari faktor internal tanaman maupun kesesuaian lingkungan untuk produktivitas tanaman yang diharapkan lebih dari potensi aktualnya melalui rekayasa faktor lain yang masih dapat diupayakan.
4. Adanya serangan hama dan penyakit
Hal penting yanga harus diperhatikan dalam hal ini adalah pengendalian serangan hama dan penyakit agar tidak mencapai aras ekonomi yang dapat secara signifikan mempengaruhi produktivitas tanaman. Dalam kaitannya dengan penggunaan bibit unggul pada poin 1, seringkali terdapat beberapa hal yang bertentangan. Pada umumnya produktivitas dan kualitas buah yang baik seringkali diiringi dengan sifat tanaman yang relatif lebih rentan terhadap gangguan OPT. Sebaliknya, sifat tanaman dengan ketahanan yang lebih baik terhadap OPT umumnya memiliki kemampuan berproduksi dan kualitas buah yang relatif lebih redah. Adanya perkembangan teknologi yang telah berhasil memadukan sifat tanaman menghasilkan tanaman dengan produktivitas tinggi dan tahan terhadap OPT merupakan inovasi yang cukup dapat menjadi solusi dalam budidaya tanaman kelapa.
5. Sistem pengolahan dan tata niaga hasil
Perkembangan teknologi pengolahan (industri hilir) yang memanfaatkan kelapa sebagai bahan baku merupakan faktor lain yang cukup berpengaruh terhadap produksi kelapa secara tidak langsung. Semakin banyaknya konsumsi masyarakat baik secara langsung maupun melalui pengolahan lebih lanjut menjadi berbagai produk olahan menjadi total peluang permintaan yang mampu mendorong meningkatkan produksi kelapa secara tidak langsung. Permintaan yang tinggi dan nilai tambah pada industri hilir akan dapat mendorong peningkatan harga jual kelapa itu sendiri sehingga menjadi motivasi bagi petani untuk meningkatkan produksi seiring semakin berkembangnya teknologi budidayanya.
6. Tujuan penggunaan
Adanya keragaman tujuan penggunaanya menyebabkan seringkali buah kelapa telah dipanen sebelum cukup matang, misalnya pemanenan dalam bentuk kelapa muda. Hal ini meyebabkan siklus panen tidak lagi sesuai dengan teori yang seharusnya dan produktivitas total dalam bentuk standar (buah matang atau kopra) menjadi berubah. Pemanenan dalam bentuk yang belum cukup waktu untuk dipanen secara terus-menerus akan menyebabkan tanaman mengalami stress sehingga berpengaruh terhadap produktivitasnya.
Pada praktikum ini, pengamatan dilakukan di kebun milik Bapak Sugiyanto di Sumber Lor, Kalitirto, Berbah, Sleman. Terdapat 12 tanaman kelapa pada luas lahan sekitar 864 m2 yang terdiri dari 7 jenis kelapa dalam dan 5 lagi dari jenis genjah. Hasil pengambilan sampel secara acak didapatkan 2 tanaman dari jenis kelapa dalam dan 1 tanaman kelapa genjah. Teknik budidaya yang dilakukan oleh petani masih dapat dikatakan sangat sederhana. Kelapa tidak menjadi tanaman utama yang secara komersil dibudidayakan intensif. Tanaman kelapa pada pengamatan kami lebih difungsikan sebagai bentuk optimalisasi lahan pekarangan yang dikombinasikan dengan tanaman tahunan lain seperti mangga, kayu jati, dan beberapa tanaman lain sekaligus tanaman penyejuk, penaung dan penangkal sinar matahari dikala terik matahari sedang tinggi-tingginya.Pola penanaman yang digunakan aadalah pola pinggiran (border). Dari 12 tanaman yang ada, hanya sekitar 8 tanaman yang masih produktif, selebihnya berada dalam kondisi yang sudah cukup tua untuk dapat diharapkan produktivitasnya. Tanaman kelapa bukan difungsikan sebagai tanaman utama (core) yang secara intensif dibudidayakan untuk kepentingan komersil, melankan hanya bersifat subsisten. Produksi hanya dimanfaatkan untuk kebutuhan rumah tangga petani dan baru dijual kepada pedagang ketika terdapat kelebihan hasil.
Pada awal penanamannya, petani menanam tanaman kelapa dengan memanfaatkan bibit dari tanaman sebelumnya yang sengaja ditunaskan untuk penanaman yang telah direncanakan atau hanya secara kebetulan menanam dari buah yang terlanjur bertunas sebelum dimanfaatkan. Tidak ada metode penanaman yang secara khusus diterapkan petani, seperti pada anjuran budidaya kelapa yang ada. Penanaman dilakukan pada awal musim penghujan untuk menghindari kekeringan tanaman pada awal pertumbuhannya. Jarak tanam yang digunakan adalah 8 x 9 m. Penanaman pada waktu tersebut juga membantu petani agar tidak perlu melakukan penyiraman secara intensif selama awal pertumbuhan tanaman. Pemeliharaan tanaman kelapa pun hanya dilakukan secara sederhana. Pada awal penanaman dilakukan pemupukan dasar dengan pupuk kandang yang diaplikasikan dengan secara langsung ikut dimasukkan ke dalam lubang tanam. Pupuk ditanam dengan metode spot placement , yaitu membuat rorak (lubang) di samping tanaman sedalam 30 cm dengan jarak 100-150 cm (tajuk terluar). Selain berfungsi untuk lubang pemupukan, rorak juga berfungsi untuk lubang drainase terutama pada musim penghujan serta lubang penimbun seresah di sekitar tanaman yang dapat menjadi sumber bahan organik bagi tanaman.
Selama masa produksinya, tanaman mendapatkan pemupukan dua dua kali dalam setahun. Pemupukan dilakukan pada awal musim penghujan dan awal akhir musim penghujan. Pupuk yang digunakan adalah pupuk urea dengan dosis 1 kg per tanaman yang diaplikasikan sama seperti awal penanaman. Terkait dengan perlakuan pengendalian hama wangwung (Oryctes rhinoceros) yang sering menyerang, bila dirasa hama ini telah mencapai ambang batas ekonomi. Pengendalian wawung dilakukan dengan memberikan garam pada ujung pupus. Pada saat garam tersebut larut terbawa air karena hujan, telur wawung dapat ikut larut dan populasi hama dapat dikendalikan. Cara ini dilakukan jika hanya beberapa saja tanaman yang terserang hama, namun untuk intensitas serangan yang lebih tinggi maka pengendalian hanya dilakukan dengan penyiraman air garam pada pangkal batang saja. Tidak ada perlakuan khusus untuk menanggulangi gulma.
Untuk tanaman kelapa dalam, pemanenan kelapa biasanya dilakukan setelah kelapa berumur ± 5 tahun untuk kelapa dalam, dan ± 4 tahun untuk kelapa genjah. Kondisi tanaman yang cukup tinggi menyebabkan pemanenan harus dilakukan dengan cara diapnjat dan dipetik langsung. Namun, untuk tanaman kelapa genjah pemanenan dapat dilakukan dengan memanjat langsung atau menggunakan galah yang memiliki panjang sama dengan tinggi batang kelapa jika dirasa perlu. Dari data hasil pengamatan dapat dipekirakan produksi satu pohon kelapa rata-rata adalah 275 butir per tahun untuk kelapa dalam dan sekitar 350 butir per tahun per pohon untuk kelapa genjah. Kelapa muda biasanya dipanen dalam waktu 20-25 hari sedangkan kelapa tua dipanen 30-35 hari. Hasil panen biasanya dikonsumsi untuk kebutuhan rumah tangga petani dan baru dijual ketika terdapat kelebihan hasil. Pemasaran dilakukan terhadap temgkulak yang langsung datang ke kebun petani tiap periode waktu tertentu.
Kelapa jenis genjah dapat menghasilkan 9.000-11.000 butir per hektar per tahun atau setara dengan 1,5 – 2 ton kopra. Kelapa jenis dalam dapat menghasilkan buah 4.000-5.000 butir per hektar per tahun atau setara dengan 1- 1,25 ton kopra (Warisno, 2003). Produktivitas kelapa aktual untuk kelapa genjah pada pengamatan ini setara dengan 9.722 butir per hektar per pohon atau sekitar 1,62 ton kopra jika menggunakan batas minimal produktivitas kelapa dalam menurut teori (9.000 butir per ha per pohon). Adapun untuk kelapa dalam, dengan metode konversi yang sama didapatkan bahwa produktivitas aktualnya setara dengan 5.456 butir per hektar per pohon atau sekitar 1,36 ton kopra jika menggunakan batas maksimal produktivitas kelapa dalam menurut teori di atas. Berdasarkan pengamatan ini, didapatkan bahwa produktivitas tanaman kelapa dalam sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan teori, sementara produktivitas kelapa genjah berada dalam rentang yang masih sesuai dengan teori. Perbedaan produktivitas keduanya disebabkan oleh beberapa faktor, terutama oleh perbedaan sifat kedua varietas tersebut yang secara teori berbeda dalam hal produktivitasnya. Dilihat dari hasil pengamatan ini maka kelapa dalam memiliki produktivitas yang lebih baik dibandingkan dengan kelapa genjah pada kondisi lingkungan dan perlakuan yang relatif sama saat dikonversikan dengan masing-masing standar produktivitas masing-masing varietas. Salah satu faktor yang mungkin menjadi penyebabnya adalah perlakuan budidaya yang sama (kurang intensif) masih secara lebih baik direspon oleh kelapa varietas dalam dibandingkan dengan kelapa varietas genjah. Di samping itu, banyaknya tanaman lain di sekitarnya menyebabkan kelembaban lingkunagn mikro yang lebih banyak berpengaruh terhadap tanaman kelapa varietas genjah karena morfologinya yang lebih pendek dibandingkan kelapa varietas dalam. Kelembaban ini menimbukan risiko serangan hama wangwung yang lebih tinggi, di samping karena sifat dasarnya yang relatif tidak tahan terhadap OPT.
Dalam Suhardiman (1994), disebutkan bahwa pada umumnya tanaman kelapa varietas genjah mulai menghasilkan buah pada umur 3-4 tahun. Untuk varietas dalam, kelapa mulai menghasilkan buah pada umur 6-8 tahun. Masa puncak produksi kelapa juga berbeda-beda. Untuk kelapa dalam masa puncak produksinya pada umur antara 15-20 tahun. Setelah berumur 20 tahun produksinya berangsur turun dan setelah berumur 40 tahun produksinya merosot. Sedang kelapa genjah/hibrida, masa produksi puncak antara umur 10-18 tahun. Setelah berumur 18 tahun produksi mulai berangsur turun dan merosot setalah umur 30 tahun.
Secara umum, produktivitas kelapa baik dalam maupun genjah pada pengamatan ini dapat dikatakan baik, meskipun masih dilakukan secara sederhana dan tidak ada pemeliharaan yang intensif. Produktivitas kelapa dapat ditingkatkan dengan pemeliharaan yang intensif dengan mengikuti standar budidaya tanaman kelapa seperti yang telah dianjurkan oleh instansi-intansi terkait. Potensi lingkungan yang telah ada diharapkan mampu menjadi modal awal untuk pengembangan budidaya tanaman kelapa meskipun dalam skala kecil di tingkat petani untuk optimalisasi lahan pekarangan saja. Hal tersebut dapat lebih optimal dengan penggunaan bibit unggul untuk meremajakan tanaman tua yang telah berkurang masa produktifnya. Penanaman baru atau perluasan harus mempertimbangkan kesesuaian lingkungan, dan meningkatkan nilai tambah dari produk yang dihasilkan tidak hanya kelapa butiran, kopra atau minyak akan tetapi aneka ragam produk yang berasal dari tanaman kelapa maupun dari tanaman sela yang ditanam diantara pohon kelapa.
V. KESIMPULAN
1. Kelapa (Cocos nucifera) terdiri dari lima bagian, yaitu esokarp (kulit luar), mesokarp (sabut), endokarp (tempurung), daging buah dan air kelapa.
2. Buah yang baik untuk benih harus berasal dari pohon induk yang baik, bentuk benih bulat atau agak lonjong, ukuran buah sedang memiliki panjang kira-kira 22-25 cm dan lebar 17-22 cm serta berbobot berat, airnya cukup banyak, buah cukup matang (tua), serta kulit buah licin dan mulus.
3. Teknik budidaya tanaman kelapa meliputi: pembibitan, pengolahan media tanam, penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan.
4. Perlakuan budidaya tanaman kelapa di kebun milik petani di Sumber Lor, Kalitirto, Berbah, Sleman masih sederhana dan tidak memerlukan teknis yang khusus.
5. Produktivitas tanaman kelapa dalam di daerah Sumber Lor, Kalitirto, Berbah, Sleman sekitar 275 butir per pohon/tahun, setara dengan 5.456 butir per hektar per tahun atau 1,36 ton kopra, lebih tinggi daripada teori produktivitasnya.
6. Produktivitas tanaman kelapa dalam di daerah Sumber Lor, Kalitirto, Berbah, Sleman sekitar 350 butir per pohon/tahun, setara dengan 9.772 butir per hektar per tahun atau 1,62 ton kopra, sesuai dengan rentang teori produktivitasnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachma, A., dan Mulyani, Anny. 2003. Pemanfaatan lahan berpotensi untuk pengembangan produksi kelapa. Jurnal Litbang Pertanian 1: 24-32.
Anonim. 2009. Budidaya Kelapa. . Diakses pada tanggal 25 Maret 2012.
Bahusin. 1981. Pertumbuhan Kelapa Hibrida di Perkebunan PT. Perkebunan X. Pusat Penelitian Getas. Salatiga.
Child, R. 1974. Coconut 2nd edition. Longman Group ltd. London.
Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. 2007. Roadmap Komoditi Kelapa. Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. Jakarta.
Juniaty, T., F. Mondi dan H. Tampake. 1999. Komposisi kimia daging buah kelapa genjah solok pada tiga lokasi tumbuh. Habitat. 10: 9-16.
Setyamidjaja, Djoehana. 1982. Kelapa Hibrida, Budidaya dan Pengolahan.Yayasan Kanisius. Yogyakarta.
Suhardiman, P.1994.Bertanam Kelapa Hibrida. Penebar Swadaya. Jakarta.
Warsino. 2003. Budidaya Kelapa Genjah. Kanisius. Yogyakarta.
Woodroof, J.G. 1979. Coconut Production Processing Product. AVI Publ. Company. INC., Westport, Connecticut.
LAMPIRAN
Langganan:
Postingan (Atom)